Sempat sedikit bersitegang dengan rekan-rekan guru, ketika saya agak ngotot meminta mereka agar mengisi raport sesuai dengan hasil ujian anak-anak saja. Tapi mereka tetap besikeras untuk mencantumkan nilai di raport siswa sesuai atau di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah diatur sebelumnya. Berapapun hasil yang didapat siswa pada pelaksanaan ujian. Mereka berdalih bahwa hal tersebut untuk melempangkan jalan siswa menuju kelulusan. Sebab untuk ujian akhir nasional (UAN) tahun ini sudah tidak lagi menjadi satu-satunya acuan untuk menentukan kelulusan siswa. Tapi juga ditentukan oleh hasil ujian akhir sekolah dan nilai raport. Hasil UAN 60%. Hasil UAS ditambah nilai raport mulai semester 1 sampai semester 5, 40%. Begitu komposisinya.
Komposisi antara UAN, UAS dan nilai raport seperti itu memang lebih rasional dan lebih bisa diterima. Sebab hal tersebut menyertakan seluruh materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Tentunya juga melibatkan guru dan kepala sekolah secara manusiawi untuk menentukan siapa saja siswa mereka yang layak lulus atau yang tidak layak lulus. Sekali lagi, ini lebih rasional. Walau menurut saya tetap belum ideal. Sebab idealnya menurut saya, adalah 50-50. UAN 50, dan sekolah 50. Tapi sekarang masalahnya bukan pada komposisi atau rasionalitas kewenangan. Tapi lebih kepada mental bapak-bapak dinas pendidikan, kepala sekolah dan para guru.
Konon, menurut informasi yang kami terima dari MKKS (musyawarah kerja kepala sekolah), para kepala sekolah telah bersepakat, bahwa mereka akan menyuruh para guru, bagaimanapun caranya, agar nilai yang tertera di raport minimal 80 untuk setiap mata pelajaran. Sebab menurut yang mereka dapat, para sekolah telah ditarget oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota agar meluluskan siswanya sekian persen. Sebab para kepala dinas kabupaten/kota juga telah ditarget oleh dinas propinsi untuk meluluskan para siswa peserta UAN di daerah mereka sekian persen. Dan dinas propinsi juga ditarget oleh Depdiknas untuk menjadikan kelulusan nasional sekian persen.
Karena ada target-target semacam itu, jadilah sekarang ini para guru menjalankan aksi-aksi yang tidak terpuji untuk bisa memnuhinya. KKM dinaikkan. UAS dibuat mudah sesuai dengan keyakinan bahwa siswa bisa mengerjakannya. Bahkan menurut seorang rekan guru, ada satu sekolah yang sampai mengganti raport baru untuk menjadikan KKM semuanya minimal 80. Dan bagaimanapun tidak bisanya seorang siswa, tetap akan mendapatkan nilai minimal 80. Perbuatan para guru yang demikian itu dijustifikasi oleh para kepala sekolah di MKKS bahwa hal itu tidaklah salah. Karena semua itu demi siswa kita. Kasihan siswa kalau sampai tidak lulus. Mereka harus ngulang lagi. Malu pada teman-temannya. Kasihan juga orang tua mereka. Sebab mereka harus mengeluarkan biaya lagi untuk membiayai sekolah anak mereka selama satu tahun. Dan berbagai dalih lainnya yang membenarkan tindakan ‘membantu’ semacam itu.
Padahal sebenarnya, kalau kita benar-benar kasihan kepada para siswa, kita memang menginginkan anak-anak kita menjadi pandai, kita mengharapkan anak-anak kita agar berkompetisi secara fair, seharusnya kita jangan melakukan ‘bantuan’ semacam itu. Tapi marilah kita bantu mereka dengan mengajar mereka dengan baik, agar bisa memahami setiap pelajaran yang kita sampaikan. Mari kita pacu semangat belajar mereka, agar bisa memenuhi apa yang menjadi tuntutan kelulusan. Atau kalau tidak, mari kita buat kesepakatan nasional untuk kembali saja ke jaman dulu. Jaman yang tidak ada UAN. Jaman dimana kelulusan murni ditentukan oleh para guru dan kepala sekolah. Daripada berharap nilai akademik baik, tapi untuk mewujudkan itu harus ditempuh dengan cara-cara yang tidak fair seperti ini.
Begitukah?
Leave a Reply