WALHI 30/03/10, Jakarta – Kebebasan telah melekat di dalam kehidupan komunitas laut Bajau Pela’u sejak masa leluhur. Mereka telah terbiasa hidup di atas perahu di wilayah perairan tanpa mengenal batas administrasi suatu negara.
Komunitas ini pergi ke darat hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup, perbekalan, dan menjual hasil tangkapan. Kini, komunitas laut Bajau Pela’u tengah menghadapi perubahan, termasuk kewajiban memiliki identitas. Akibat tidak memiliki identitas ini mereka dituduh telah mencuri ikan di perairan Indonesia.
Sebanyak 103 orang (43 orang diantaranya adalah anak-anak) anggota komunitas Bajau Pela’u ditahan oleh Kepolisian Resort Berau, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur sejak 23 hari lalu. Mereka dituduh telah merampok pisang, mengambil mesin dan melakukan pencurian ikan. Tuduhan merampok pisang dan mengambil mesin telah disangkal namun tuduhan pencurian ikan membuat mereka harus berurusan dengan aparat Kepolisian. Kini, pihak kepolisian menempatkan mereka di Aula Dinas Sosial milik pemerintah Kabupaten.
“Sebagai orang laut, tentu penahanan ini akan menyiksa fisik dan mental mereka. Komunitas ini telah terbiasa akan kehidupan yang dekat dengan air laut,” ujar Lita Mamonto, Pengkampanye pesisir dan laut Walhi, di Jakarta. “Suku Bajau Pela’u adalah bagian dari Suku Bajau yang hidup di atas perahu, dari lahir hingga kematiannya, seperti nenek moyang semua bangsa Bajau. Menahan mereka terlalu lama di darat akan membuat mereka semakin lemah dan sakit.”
Yang semakin memprihantinkan, mereka hanya diberi makan sekali dalam sehari selama hidup di dalam penampungan. Bahkan anak-anak terpaksa harus menahan lapar di pagi hari karena makanan hanya diberikan siang hari. Sungguh ironis, ketahanan anak-anak disamakan dengan orang dewasa. Selain itu, kesehatan mereka dengan cepat menurun karena dijauhkan dari laut dan perahu sebagai “rumah” mereka selama ini. Seorang kakek yang menderita pembengkakan hati menurut tim medis dan sudah diberikan resep obat oleh Dokter, sampai saat ini harus tetap menahan sakit karena obat tak kunjung didapatkan. Beberapa anak-anak mulai terkena penyakit gatal-gatal karena tidak terbiasa mandi dengan air tawar.
Keinginan orang Bajau Pela’u sendiri adalah secepat mungkin dikembalikan ke perairan Batu Putih. Bahkan mereka mau menjaminkan beberapa orang dewasa sebagai jaminan ke Polisi asalkan yang lain dibebaskan. Namun ini masih belum ditanggapi oleh pihak Kepolisian karena masih menunggu keputusan dari Pemerintah Kabupaten Berau.
Secara politis, suku Bajau Pela’u tidak memiliki kewarganegaraan. Walaupun dikatakan asal usul mereka dari Sulu Philipina namun mereka bukan warga negara Phillipina. Mereka tidak pernah menetap di satu wilayah dan senantiasa berputar melalui jalur-jalur laut antara Philipina, Malaysia dan Indonesia.
Angkatan Laut Diraja Malaysia pernah membuatkan semacam surat keterangan identitas namun itu tidak lantas membuat mereka mendapat pengakuan sebagai warga negara Malaysia. Selama dua tahun ini mereka hanya berputar di sekitar perairan Batu Putih Kalimantan Timur hingga Kepolisian Resort Berau membawa mereka ke Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau.
Lita Mamonto menambahkan, “Pemerintah Indonesia harus segera mengembalikan komunitas Bajau Pela’u ke rumah-rumah mereka yaitu perahu dan mengakui keberadaan mereka sebagai Suku Bajau yang hidup di laut”.
[http://www.walhi.or.id]
Leave a Reply