“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali, bagai Sang Surya menyinari dunia.” Begitu bait lagu anak – anak yang telah kita hafal di luar kepala sejak kita TK. Iya, kasih ibu memang tiada henti. Kasihnya kepada kita senantiasa ada, terus ada dalam setiap waktu dan tempat. Dalam segala situasi dan kondisi. Ibu terus dan terus mencurahkan cinta dan kasihnnya kepada kita. Walau banyak diantara kita, anaknya, yang tak pandai berterima kasih. Ibu yang telah mengandung kita. Melahirkan kita dengan taruhan nyawanya. Merawat, mendidik, menjaga kita sejak kita kecil sampai kita besar. Setelah kita besar pun, yang seharusnya kita sudah bisa mandiri, mencuci baju sendiri, mencuci piring sendiri dan merapikan tempat tidur sendiri, tapi tidak sedikit diantara kita yang semua pekerjaan itu masih dikerjakan ibu kita sampai usia kita SMA. Atau bahkan sampai kita dewasa! Pun, masih banyak diantara kita yang masih tetap merepotkan ibu kita. Menjaga rumah , merawat anak-anak kita dan lain sebagainya.
Ada seorang pemuda yang menggendong ibunya dari Yaman ke Mekkah. Selama di perjalanan dia merawat dan mengerjakan semua keperluan ibunya. Ibunya makan, dia suapi. Ibunya tidur/rebahan, dia sediakan pangkuannya. Termasuk memandikan dan mengganti bajunya. Dan bahkan sampai (maaf) buang air besar dan buang air kecil, dia yang nyebokin. Sesampainya di Mekkah, pemuda ini bertemu dengan Umar bin Khaththab ra, dia bertanya pada Umar: “Wahai Amiral mukminin, apakah yang telah aku perbuat untuk ibuku ini, sudah bisa menebus segala kebaikan ibu padaku?” Umar menjawab: “Tidak, sekali-kali tidak! Bahkan hanya untuk membalas satu hempasan nafas ibumu ketika melahirkanmu , semua ini tidaklah cukup!.”
Sodara, memang kebanyakan kita, menyikapi sesuatu yang biasa, itu biasa-biasa saja. Termasuk menyaksikan bagaimana pengorbanan, letih, repot dan perjuangan ibu yang demikian luar biasa, karena itu adalah sesuatu yang biasa terjadi, dan memang begitulah seharusnya, maka kita mengangapnya menjadi biasa-biasa saja. Padahal itu adalah suatu hal yang luar biasa, yang tak akan tertandingi oleh apapun juga. Beda dengan kejadian insidentil, kebetulan, situasional, dan mungkin terjadi hanya sekali saja. Misal, kita kecelakaan di jalan, kemudian ada orang yang menolong kita, maka kita akan sangat berterima kasih pada orang tersebut. Atau mungkin ada orang yang membantu kita mendapatkan pekerjaan, maka kita akan mengenang orang tersebut sebagai pahlawan yang tak akan terlupa. Padahal Sodara, penolong kita, penyelemat kita dan pahlawan kita yang sejati, adalah ibu kita.
Pun, ketika kita sudah mencintai lawan jenis, begitu mudahnya kita mengalihkan cinta kita dari ibu kita pada orang tersebut. Kita siap setiap saat memenuhi keinginannya, sementara keinginan ibu kita, kita sering kali enggan. Bahkan ketika ibu kita tidak setuju dengan perempuan / lelaki yang kita cintai, kita pun akan melawannya dengan sengit. Dan ketika kelak orang tersebut sudah menjadi suami atau istri kita kebetulan ia berselisih pendapat dengan ibu kita, kita siap mengobarkan perang dengan ibu kita demi membela ‘kekasih hati’. Padahal cinta orang tersebut kepada kita belumlah banyak teruji. Istri atau suami kita belum banyak mengetahui kesalahan dan kekurangan kita. Dia tidak banyak menghadapi bandel dan rewel kita. Beda dengan ibu kita, beliau telah menunjukukkan cinta yang tak berperi. Cinta yang tak akan mampu diberikan oleh siapapun juga di muka bumi ini.
Berat beban ibu kita ketika mengandung kita. Beliau tidak bisa berjalan dengan tegak karena perutnya harus menyanggah diri kita. Ketika duduk, berbaring dan berdiri, beliau serba susah melakukannya. Pola makannya tidak normal. Keinginan makanan yang tidak lazim (ngidam), bermacam-macam yang di-inginkan, semua itu karena ada kita di dalam perutnya. Itu ketika kita masih berada dalam kandungan. Ketika kita sudah keluar ke dunia ini, kepayahan ibu tersebut terus berlanjut. Bahkan terkadang lebih melelahkan.
Islam begitu sangat memuliakan ibu. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama menyebutkan bahwa syurga ada di telapak kaki ibu. Artinya, kalau kita ingin selamat di dunia dan akherat, maka kita harus berbakti kepada ibu kita. Ketika Rasulullah saw ditanya tentang manusia yang paling berhak untuk mendapatkan cinta, penghormatan dan pengabdian kita, beliau menjawab “Ibumu, ibumu, ibumu”, baru kemudian “ayahmu”. Kedudukan ibu tiga kali lebih terhormat di atas ayah. Apa lagi manusia lain selain ayah! Sehingga karenanya, sudah sepantasnyalah kalau kita menjadikan ibu kita sebagai manusia pertama yang harus kita mintai ridha (persetujuan)nya kalau kita akan memutuskan sesuatu. Ibu harus kita dahulukan haknya ketika kita akan memberikan hak orang lain. Ibu yang harus terlebih dahulu kita senangkan hatinya sebelum kita menyenangkan orang lain. Ibu adalah orang pertama yang harus kita mintai doa dan dukungannya ketika kita mempunyai harapan yang ingin dicapai.
Satu paket dengan ayah, Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan kita untuk berbakti kepada ibu kita, “Dan kami perintahkan kepada manusia agar (berbakti) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang teramat sangat, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kedua orang tuamu…” (QS:Luqman:14). Perintah untuk berbuat baik (berbakti) kepada ibu kita dalam ayat ini bukanlah perintah yang harus ditaati karena bersifat ta’abbudan (keharusan yang tanpa reserve) belaka. Tapi Allah menyertakan alasan-Nya kenapa kita harus berbakti kepada ibu kita. Adalah karena jerih payah dan pengorbanan yang demikian luar biasa yang telah ibu berikan kepada kita. Sehingga karenanya juga, maka kemudian Rasulullah saw menegaskan bahwa barang siapa yang ingin diridhai Allah, maka dia harus mendapatkan ridha ibu (kedua orang tua)nya. Dan barang siapa yang sampai membuat ibu (kedua orang tua)nya marah, maka sesungguhnya ia telah mengundang murka Allah.
Sampai kalau seandainya ibu kita seorang jahat (na’dzu billah) sekalipun, bahkan sampai mengajak kita menyekutukan Allah, kita memang tidak diperbolehkan untuk mengikuti kejahatannya, tapi Allah tetap mewajibkan kita untuk menjaga sikap baik kita kepadanya. “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukanKu dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku…” (QS. Lukman: 15)
So, Sodara, berbuat baiklah kepada ibumu sekarang. Jangan tunggu sampai beliau meninggal dunia, baru kemudian kita menyesalinya dengan berkata “Coba kalau seandainya ibu masih hidup, maka aku akan sungguh-sungguh merawat dan berbakti padanya.” Dan bagi yang ibunya sudah terlanjur meninggal dunia, senantiasa berdoalah untuknya, mintalah pada Allah agar Allah melapangkan kuburnya, memaafkan segala kesalahannya, menerima segala amal ibadahnya dan mengumpulkannya dengan orang-orang shaleh serta memasukkannya ke dalam syurga. Dan minta ampunlah juga kepada Allah atas kelalaian kita merawat ibu dan berbakti padanya ketika beliau masih hidup.
Leave a Reply